Rasa yang memang
tak seharusnya ada. cukup puas mengetahui seluruh hal itu,
tetapi kembali mendengarkan setiap ceritamu, merasakan sentuhanmu, merasakan dekapmu di tubuhku, dan merasakan manisnya senyumanmu. Aku bahagia pernah menjadi bagian dalam tawamu. Aku terlena
dengan rasaku. Aku terbang dalam buaian rasamu. Aku membiarkan rasa itu
mengikatku, dalam dan semakin dalam.
Dan sekarang aku terjatuh. Jauh, dalam dan sakit. Saat tanpa kata, tanpa bicara kau meninggalkan itu dalam setiap tanya. Membiarkan itu tertatih sendiri meraba jawab. Aku tak menyalahkan, Walaupun aku pernah menghujatmu. Aku sadar, sangat sadar. Kisah kita adalah kisah yang tak seharusnya ada.
Aku dan kamu seharusnya cukup hanya bergelar ‘sahabat’. Tak lebih, dan memang tak seharusnya lebih.
Aku hanya tak rela menghadapi semua tanya dari hatiku. Semua rindu yang menyiksa malam-malamku. Aku hanya ingin satu kata, satu masa dimana kita benar-benar saling mencoba berdamai dengan rasa yang ada. Seperti janji yang dulu pernah terucap di antara kita. Saat semua ini tidak akan ada akhirnya.
Tapi kamu mengingkarinya. Kamu tak pernah menjadi ‘biasa’. Dan mungkin aku juga.
Kamu berubah menjadi seseorang yang tak pernah lagi sama. Mungkin kamu tak akan pernah tahu, berapa banyak doa yang kupanjatkan. Aku hanya tak rela kehilangan seorang sahabatku, tempat dimana selama ini aku bisa berkeluh kesah. Tempat dimana aku bisa menyandarkan kepalaku sejenak disaat aku merasa lelah. Aku tak ingin kehilanganmu, tapi doaku tak berbalas.
Doa yang berdasar pada kesalahan rasa, menjauh dan menjauh. Aku tak pernah tahu apa yang ada di hatimu. Kamu selalu bersembunyi dalam diammu. Membiarkanku terluka dan terlena dalam setiap pedihku. dan kamu tak peduli, sehingga semuanya berlalu seperti angin, meninggalkan kepingan-kepingan hati yang porak poranda.
Pada akhirnya , harapan itu lenyap, aku tak ingin melihatmu lagi. Aku hanya bisa memandangmu dari tempat persembunyianku. Tempat yang menyimpan banyak kenangan. dan suatu tempat yang menyiksaku dengan bayangmu, 3 bulan sudah mendekap rasa. Sampai disadari kita bukan siapa-siapa. Dan takkan pernah sampai kapanmu, menjadi siapa-siapa.
Penulis : Bima Ade Polan
Dan sekarang aku terjatuh. Jauh, dalam dan sakit. Saat tanpa kata, tanpa bicara kau meninggalkan itu dalam setiap tanya. Membiarkan itu tertatih sendiri meraba jawab. Aku tak menyalahkan, Walaupun aku pernah menghujatmu. Aku sadar, sangat sadar. Kisah kita adalah kisah yang tak seharusnya ada.
Aku dan kamu seharusnya cukup hanya bergelar ‘sahabat’. Tak lebih, dan memang tak seharusnya lebih.
Aku hanya tak rela menghadapi semua tanya dari hatiku. Semua rindu yang menyiksa malam-malamku. Aku hanya ingin satu kata, satu masa dimana kita benar-benar saling mencoba berdamai dengan rasa yang ada. Seperti janji yang dulu pernah terucap di antara kita. Saat semua ini tidak akan ada akhirnya.
Tapi kamu mengingkarinya. Kamu tak pernah menjadi ‘biasa’. Dan mungkin aku juga.
Kamu berubah menjadi seseorang yang tak pernah lagi sama. Mungkin kamu tak akan pernah tahu, berapa banyak doa yang kupanjatkan. Aku hanya tak rela kehilangan seorang sahabatku, tempat dimana selama ini aku bisa berkeluh kesah. Tempat dimana aku bisa menyandarkan kepalaku sejenak disaat aku merasa lelah. Aku tak ingin kehilanganmu, tapi doaku tak berbalas.
Doa yang berdasar pada kesalahan rasa, menjauh dan menjauh. Aku tak pernah tahu apa yang ada di hatimu. Kamu selalu bersembunyi dalam diammu. Membiarkanku terluka dan terlena dalam setiap pedihku. dan kamu tak peduli, sehingga semuanya berlalu seperti angin, meninggalkan kepingan-kepingan hati yang porak poranda.
Pada akhirnya , harapan itu lenyap, aku tak ingin melihatmu lagi. Aku hanya bisa memandangmu dari tempat persembunyianku. Tempat yang menyimpan banyak kenangan. dan suatu tempat yang menyiksaku dengan bayangmu, 3 bulan sudah mendekap rasa. Sampai disadari kita bukan siapa-siapa. Dan takkan pernah sampai kapanmu, menjadi siapa-siapa.
Penulis : Bima Ade Polan